TUGAS MAKALAH ILMU KALAM
Dosen
Pembimbing : AHMAD SOPIAN
Disusun Oleh :
OSIN UTAMI
SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH SIROJUL FALAH
Kata Pengantar
Segala
puji hanya milik Allah SWT. Shalawat dan
salam selalu tercurahkan kepada Rasulullah SAW. Berkat
limpahan dan rahmat-Nya penyusun mampu menyelesaikan
tugas makalah ini guna memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Kalam
Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit
hambatan yang penulis hadapi. Namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam
penyusunan materi ini tidak lain berkat bantuan, dorongan, dan bimbingan orang
tua, sehingga kendala-kendala yang penulis hadapi teratasi.
Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu
tentang Ahlu Sunnah Wal Jamaah . Makalah ini di susun oleh penyusun dengan
berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri penyusun maupun yang datang
dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Allah
akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas
dan menjadi sumbangan pemikiran kepada pembaca khususnya para mahasiswa STIT
Sirojul Athfal. Saya sadar bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jau
dari sempurna. Untuk itu, kepada dosen pembimbing
saya meminta masukannya demi perbaikan
pembuatan makalah saya di masa yang
akan datang dan mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca.
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Akidah bagi setiap muslim merupakan salah satu aspek ajaran
Islam yang wajib diyakini. Dalam al-Qur’an akidah disebut dengan al-Iman
(percaya) yang sering digandengkan dengan al-Amal (perbuatan baik) tampaknya
kedua unsur ini menggambarkan suatu integritas dalam ajaran Islam. Dasar-dasar
akidah Islam telah dijelaskan Nabi Muhammad Saw melalui pewahyuan al-Qur’an dan
kumpulan sabdanya untuk umat manusia generasi muslim awal binaan Rasullullah
Saw telah meyakini dan menghayati akidah ini meski belum diformulasikan sebagai
suatu ilmu lantaran rumusan tersebut belum diperlukan. Pada periode
selanjutnya, persoalan akidah secara ilmiah dirumuskan oleh sarjana muslim yang
dikenal dengan nama mutakallimun, hasil rumusan mutakallimun itu disebut kalam,
secara harfiah disebut sabda Tuhan ilmu kalam berarti pembahasan tentang kalam
Tuhan (al-Qur’an) jika kalam diartikan dengan kata manusia itu lantaran manusia
sering bersilat lidah dan berdebat dengan kata-kata untuk mempertahankan
pendapat masing-masing. Kata kalam berkaitan dengan kata logos dalam bahasa
Yunani yang berarti alasan atau argumen Ahmad Mahmud Shubhi mengutip defenisi
ilmu kalam versi Ibnu Khaldun bahwa ilmu kalam ialah ilmu yang membahas tetang
persoalan-persoalan dasar keimanan dengan menggunakan dalil akal dan menolak
unsur-unsur bid’ah. Dari defenisi dapat dipahami bahwa pembahasan ilmu kalam
adalah untuk mempertahankan akidah. Dasar-dasar akidah yang termaktub di dalam
al-Qur’an dianalisa dan dibahas lebih lanjut dengan menggunakan logika untuk
mendapatkan keyakinan yang lebih kokoh. Persoalan kalam lainnya yang menjadi
bahan perdebatan diantara aliran-aliran kalam adalah masalah pelaku dosa besar,
iman dan kufur, serta perbuatan tuhan dan perbuatan manusia. Ketika sibuk
menyoroti siapa yang masih dianggap beriman dan siapa yang kafir diantara
pelaku tahkim, dan bagaimana nasib para pelaku dosa besar, para ulama kalam
kemudian mencari jawaban atas pertanyaan siapa sebenarnya yang mengeluarkan
perbuatan manusia, apakah Allah sendiri ? atau manusia sendiri ? atau kerja
sama antara keduanya. Masalah ini kemudian memunculkan aliran-aliran yang
berbeda pendapat tentang hal itu, dan berbagai persoalan-persoalan yang
masing-masing mereka memberikan dalil-dalil yang kuat dan bertanggung jawab.
B.
RUMUSAN MASALAH
Dalam
makalah ini, penulis akan memaparkan pembahasan tentang perbandingan antar
aliran, khususnya membahas tentang “Pelaku Dosa Besar, Iman dan Kufur dan
Perbuatan Tuhan dan Perbuatan Manusia” dan permasalahannya dapat dirumuskan
sebagai berikut:
1.
Bagaimana perbandingan pelaku dosa besar menurut aliran-aliran Kalam?
2.
Bagaimana perbandingan tentang Iman dan Kufur menurut aliran-aliran Kalam?
3.
Bagaimana perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia menurut aliran-aliran Kalam?
BAB
II
PERBANDINGAN ANTARA ALIRAN
TERHADAP PELAKU DOSA BESAR
Persoalan kalam yang pertama kali
terjadi adalah persoalan tentang iman dan kafir seseorang, dalam artian bahwa
siapa yang masih beragama Islam dan siapa yang sudah keluar dari agama Islam
itu sendiri. Menurut perkembangannya maka terjadi perdebatan dan persoalan
antara paham tiap-tiap aliran tentang pelaku dosa besar, dalam hal ini status
mereka di dalam dunia bahkan status mereka di akhirat kelak. Berikut adalah
sedikit tentang pandangan aliran untuk status seseorang yang melakukan dosa
besar:
A.
Aliran Khawarij
Aliran Khawarij yang dikenal adalah
kelompok a;iran dalam islam yang timbul ketika peristiwa tahkim. Mereka
memandang bahwa orang orang yang terlibat pada peristiwa itu adalah kafir.
Adapun orang-orang yang terlibat adalah : Ali, Muawwiyah, Amr bin Ash, dan Musa
Al-Asy’ari. Berdasarkan surah Alqur’an Surah Al-Maidah ayaat 44 yang berbunyi:
ومن لم يحكم بما انزل الله فاولئك هم الكافرون (الما ئدة) Artinya: “Barangsiapa
yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka adalah
orang-orang kafir”. (QS. Al-Maidah :44). Watak mereka yang ekstrimitas adalah
salah satu yang menonjol dari paham aliran Khawarij ini dalam memutuskan
persoalan-persoalan kalam. Hal ini mungkin disebabkan oleh watak kerasnya gurun
pasir yang panas, juga dibangun atas dasar pemahaman tekstual atas nas-nas
Al-Qur’an dan Hadits. Semua pelaku dosa besar (murtabb al-kabirah), Menurut
semua sub sekte khawarij kecuali najdah pelaku dosa besar adalah kafir dan akan
di siksa di neraka selamanya, bahkan salah satu sub sekte khawarij yang ini
adalah Azariqah, berpendapat bahwa pelaku dosa besar bukan hanya kafir
melainkan musyrik, yang menurutnya musyrik itu lebih mengerikan dari pada
kafir. Menurut sub sekte Najdah mereka berpendapat musyrik kepada siapa pun
yang secara berkesinambungan mengerjakan dosa kecil. Akan halnya dengan dosa
besar, bila tidak dilakukan secara kontinu, pelakunya tidak dipandang sebagai
musyrik tetapi hanya kafir. Namun apabila dilakukan secara terus menerus maka
akan menjaadi dosa musyrik. Walaupun secara umum subsekte aliran Khawarij
sependapt bahwa pelaku dosa besar dianggap kafir, masing-masing berbeda
pendapat tentang pelaku dosa besar yang diberi predikat kafir. Menurut subsekte
Al-Muhakimat, Ali, Muawiyah, kedua pengantarnya (Amr bin Al-Ash dan Abu Musa
Al-Asy’ari dan semua orang yang menyetujui peristiwa tahkim itu adalah bersalah
dan menjadi kafir. Hukum ini pun mereka luaskan artinya sehingga orang yang
berbuat dosa besar, berbuat zina, membunuh sesama manusia tanpaa sebab, dan
dosa besar lainnya menyebabkan pelakunya keluar dari agama Islam. Lain halnya
dengan subsekte Azaqirah mereka menghukumkan kafir tidak saja keada orang yang
berbuat dosa besar melainkan juga terhadap orang yang tidak sejalan dengan
mereka. pandangan yang berbeda juga dikemukakan oleh subsekte Najdah, merekaa
berpendapat bahwa orang yang melakukan dosa besar akan menjadi musyrik dan akan
kekal di dalam neraka bagi orang yang tidak sefaham dengan pendapat mereka,
tetapi bagi orang yang melakukan dosa besar dari kalangan kelomponya tetap
mendapaatkan siksa di dalam neraka tetapi akhirnya nanti akan masuk ke dalam
surga. Sementara itu subsekte As-Suriah membagi dosa besar menjadi dua bagian,
yaitu dosa yang ada sanksinya di dunia, seperti membunuh dan berzina, dan dosa
yang tak ada sanksinya di dunia, seperti meninggalkan salat dan puasa. Orang
yang berbuat dosa kategori pertama tidak dipandang sebagai kafir sedangkan yang
kedua dipandang kafir.
B.
Aliran Murji’ah
Aliran
Murji'ah berbeda pendapat mengenai pelaku dosa besar. Menurut murjiah yang
bersifat ekstrim pelaku dosa besar tidak kafir dan tidak akan di siksa di dalam
neraka karena menurutnya perbuatan maksiat tidak adapat menggugurkan keimanan
sebagaimana keta'atan tidak dapat membawa kekufuran. Diantara kalangan Murji’ah
yang berpendapat serupa di atas adalah subsekte Al-Jamiyah, As-Salihiyah, dan
Al-Yunusiyah. Merekaa berpendapat bahwa iman adalah tasdiq secara kalbu; bukan
secara demonstratif, baik dalam ucapan maupun tindakan. Menurut murjiah yang
moderat pelaku dosa besar tidaklah menjadi kafir. Meskipun disiksa di neraka ia
tidak kekal didalamnya, bergantung pada ukuran dosa yang dilakukannya. Diantara
yang masuk dalam kategori ini adalah Abu Hanifah dan pengikutnya.
Pertimbangannya, pendapat Abu hanifah tentang pelaku dosa besar dan konsep iman
tidak jauh berbeda dengan kelompok Murji’ah moderat lainnya. Ia berpendaat
bahwa pelaku dosa besar masih tetap mukmin tetapi dosa yang diperbuatnya bukan
berarti tidak berimplikasi. Seandainya masuk neraka, karena Allah
menghendakinya, ia tak akan kekal di dalamnya.
C.
Aliran Mu’tazillah
Aliran ini tidak menentukan status dan predikat yang pasti
bagi pelaku dosa besar, apakah mereka tetap mukmin atau kafir. Menurutnya
pelaku dosa besar berada di al-manzilah bain al-manzilatain atau berada di
posisi tengah antara mukmin dan kafir. Menurutnya pelaku dosa besar yang
meninggal dan tidak sempat bertaubat, dia akan kekal di neraka. Akan tetapi
siksaan yang di terima lebih ringan dari pada siksaan pada orang kafir. Dalam
perkembangannya, beberapa tokoh Mu’tazillah, seperti Wasil bin Atha dan Amr bin
Ubaid memperjelas sebutan itu dengan istilah fasik bukan mukmin atau kafir.
Mu’tazillah berpandangan bahwa dosa besar itu adalah sesuatu perbuatan yang
ancamannya tersebut di dalam nas, sedangkan dosa kecil adalah sebaliknya.
Tampaknya Mu’tazillah menjadikan ancaman sebagai kriteria dasar bagi dosa besar
maupun kecil.
D.
Aliran Asy’ariyah
Terhadap
pelaku dosa besar, agaknya Al-Asy’ari sebagai wakil ahli As-Sunnah, tidak
mengkafirkan orang-orang yang sujud ke Baitullah walaupun melakukan dosa besar,
seperti berzina dan mencuri. Menurutnya, mereka masih tetap sebagai orang yang
beriman dengan keimanan yang mereka miliki, sekalipun berbuat dosa besar.
Menurut aliran ini para pelaku dosa besar tidak kafir melainkan tetap mukmin
akan tetapi juka dosa besar itu dilakukan dengan anggapan bahwa hal itu
dibolehkan dan tidak meyakini keharamannya, maka ia telah di pandang kafir.
Adapun balasan bagi mereka di akhirat kelak bergantung pada kebijakan tuhan
yang maha berkehendak mutlak (bisa masuk surga dan bisa masuk neraka).
E.
Aliran Maturidiyah
Aliran Maturidiyah, baik Samarkand maupun Bukhara, sepakat
menyatakan bahwa pelaku dosa besar masih tetap sebagai mukmin karena adanya
keimanan di dalam dirinya. Adapun balasan yang diperolehnya kelak di akhirat
menurut apa yang dilakukannya di dalam dunia. Segala keputusan diserahkan hanya
kepada Allah SWT. Aliran ini berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidak kafir
dan tidak kekal di neraka walaupun ia mati sebelum bertaubat. Hal ini karena
tuhan telah menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan
perbuatannya. Kekal di neraka merupakan balasan bagi orang kafir.
F.
Aliran Syi’ah Zaidiyah
Menurut
aliran ini pelaku dosa besar akan kekal di neraka jika dia mati sebelum
bertaubat dengan taubat yang sesungguhnya. Dalam hal ini, Syi’ah Zaidiyah
memang dekat dengan Mu’tazillah. Ini bukan sesuatu yang aneh sebab, diceritakan
bahwa Wasil bin Atha salah satu pemimpin Mu’tazillah, mempunyai hubungan dengan
Zaid Moojan Momen nahakan mengatakan bahwa Zaid pernah belajar kepada Wasil bin
Atha.
2. PERBANDINGAN ANTARA ALIRAN
TENTANG IMAN DAN KUFUR
A. Konsep Iman dan Kufur Perkataan iman berasal dari bahasa
Arab yang berarti tashdiq (membenarkan), dan kufur – juga dari bahasa Arab –
berarti takzib (mendustakan). Menurut Hasan Hanafi, ada empat istilah kunci
yang biasanya dipergunakan oleh para teologi muslim dalam membicarakan konsep
iman, yaitu:
1. Ma’rifah bi al-aql, (mengetahui dengan akal).
2. Amal, perbuatan baik atau patuh.
3. Iqrar, pengakuan secara lisan, dan
4. Tashdiq, membenarkan dengan hati, termasuk pula di
dalamnya ma’rifah bi al-qalb (mengetahui dengan hati). Keempat istilah kunci di
atas misalnya terdapat dalam hadis Nabi saw. Yang diriwayatkan oleh Muslim dari
Abu Sa’id Al-Khudri: من رأي منكم منكرا فليغيره بيده فان لم يستطع فبلسانه فإن لم
يستطع فبقلبه وذالك أضعف الاءيمان (رواه مسلم) Artinya: “Barang siapa di antara
kalian yang melihat (marifah) kemungkaran, hendaklah mengambil tindakan secara
fisik. Jika engkau tidak kuasa, lakukanlah dengan ucapanmu. Jika itu pun tidak
mampu, lakukanlah dengan kalbumu. (Akan tetapi yang terakhir) ini merupakan
iman yang paling lemah” (H.R. Muslim) Dan kemudian di dalam pembahasan ilmu
tauhid/kalam, konsep iman dan kufur ini terpilih menjadi tiga pendapat:
1. Iman adalah tashdiq di dalam hati
dan kufur ialah mendustakan di dalam hati akan wujud Allah dan keberadaan nabi
atau rasul Allah. Menurut konsep ini, iman dan kufur semata-mata urusan hati,
bukan terlihat dari luar. Jika seseorang sudah tashdiq (membenarkan/meyakini)
akan adanya Allah, ia sudah disebut beriman, sekalipun perbuatannya tidak
sesuai dengan tuntunan ajaran agama. Konsep Iman seperti ini dianut oleh mazhab
Murjiah, sebagaian penganut Jahmiah, dan sebagaian kecil Asy’ariah.
2. Iman adalah tashdiq di dalam hati
dan di ikrarkan dengan lidah. Dengan kata lain, seseorang bisa disebut beriman
jika ia mempercayai dalam hatinya akan keberadaan Allah dan mengikrarkan
(mengucapkan) kepercayaannya itu dengan lidah. Konsep ini juga tidak
menghubungkan iman dengan amal perbuatan manusia. Yang penting tashdiq dan
ikrar. Konsep iman seperti ini dianut oleh sebagian pengikut Maturidiah
3. Iman adalah tashdiq di dalam hati,
ikrar dengan lisan, dan dibuktikan dengan perbuatan,
konsep ketiga ini mengaitkan
perbuatan manusia dengan iman. Karena itu, keimanan seseorang ditentukan pula
oleh amal perbuatannya. Konsep ini dianut oleh Mu’tazilah, Khawarij, dan
lain-lain. Dari uraian singkat diatas terlihat bahwa konsep iman di kalangan
teolog Islam berbeda-beda. Ada yang hanya mengandung satu unsur, yaitu tashdiq,
sebagaimana terlihat pada konsep pertama di atas. Ada yang mengandung dua
unsur, tashdiq dan ikrar, seperti konsep nomor dua. Ada pula yang mengandung
tiga unsur, tashdiq, ikrar, dan amaliah, sebagaimana konsep nomor tiga di atas.
Di samping masalah konsep iman dan kufur, pembahasan di dalam ilmu tauhid/kalam
juga menyangkut masalah apakah iman.itu bisa bertambah atau berkurang atau
tidak. Dalam hal ini ada dua pendapat.
1.
Iman tidak bisa bertambah atau berkurang.
2.
Iman bisa bertambah atau berkurang.
Ulama
yang berpendapat seperti ini terbagi pula kepada dua golongan:
a.
Pendapat yang mengatakan bahwa yang bertambah atau berkurang itu adalah tashdiq
dan amal.
b.
Pendapat yang mengatakan bahwa yang bertambah dalam iman itu hanya tashdiqnya.
Pada umumnya para ulama berpendapat, iman itu dapat bertambah pada tashdiq dan
amalnya. Tashdiq yang bertambah tentu diikuti oleh pertambahan frekuensi amal.
Menurut sebagian ulama, bertambah atau berkurangnya tashdiq seseorang
tergantung kepada:
1.
Wasilahnya. Kuat atau lemahnya dalil (bukti) yang sampai dan dterima oleh
seseorang dapat menguatkan atau melemahkan tashdiq-nya;
2. Diri
pribadi seseorang itu sendiri, dalam arti kemampuannya menyerap dalil-dalil
keimanan. Makin kuat daya serapnya, makin kuat pula tashdiq-nya. Sebaliknya,
jika daya serapnya lemah atau tidak baik, tashdiq-nya pun bisa lemah pula;
3.
Pengamalan terhadap ajaran agama. Seseorang yang melaksanakan
kewajiban-kewajiban agama dengan baik dan benar dan frekuensi amaliahnya
tinggi, akan merasakan kekeuatan iman/tashdiq yang tinggi pula. Makin baik dan
tinggi frekuensi amaliahnya, makin bertambah kuat iman/tashdiq-nya.
B. Perbandingan Antar Aliran:
Iman
dan Kufur Akibat dari perbedan pandangan mengenai unsur-unsur iman, maka
timbulah aliran-aliran teologi yang mengemukakan persoalan siapa yang beriman
dan siapa yang kafir. Dapaun aliran-aliran tersebut adalah Khawarij, Murji’ah,
Mu’tajilah, Asy’ariyah, Maturidiyah dan Ahlus Sunnah.
1.
Khawarij Iman dalam pandangan Khawarij, tidak semata-mata percaya kepada Allah,
mengerjakan segala perintah kewajiban agama juga merupakan bagian dari
keimanan. Segala perbuatan yang berbau religius, termasuk di dalamnya masalah
kekeuasaan adalah bagian dari keimanan (al-amal juz’un al-iman). Menurut
Khawarij, orang yang tidak mengerjakan shalat, puasa, zakat dan lain-lain, maka
orang itu kafir. Tegasnya sekalian orang mukmin yang berbuat dosa, baik besar
maupun kecil, maka orang itu kafir. Tegasnya sekalian orang mukmin yang berbuat
dosa, baik besar maupun kecil, maka orang itu kafir, wajib diperangi dan boleh
dibunuh, oleh dirampas hartanya. Demikianlah menurut faham Khawarij. Aliran
Khwarij berpegang pada semboyan la hukma illa lillah menjadi asas bagi mereka
dalam mengukur apakah seseorang masih mukmin atau sudah kafir. Asas itu membawa
mereka kepada paham, setiap orang yang melakukan perbuataun dosa adalah kafir,
karena tidak sesuai dengan hukum yang ditetapkan Allah. Dengan demikian, orang
Islam yang berzina, membunuh sesama manusia tanpa sebab yang sah, memakan harta
anak yatim, riba, dan dosa-dosa lainnya bukan lagi mukmin, ia telah kafir.
Perbuatan dosa yang membawa kepada kafirnya seseorang menurut golongan ini
terbatas pada dosa.
2.
Murji’ah Aliran Murji’ah berpendapat, orang yang melakukan dosa besar tetap
mukmin. Adapun soal dosa besar yang mereka lakukan ditunda penyelesaiannya pada
hari kiamat. Mereka berpendapat bahwa iman hanya pengakuan dalam hati sehingga
orang tidak menjadi kafir karena melakukan dosa besar. Berdasarkan pandangan
mereka tentang iman, Abu-Hasan Al-Asy’ary mengklasifikasikan aliran teologi
Murji’ah menjadi 12 subsekte, yaitu Al-Jahmiyah, Ash-Shalihiyah, Al-Yunusiyah,
Asy-Syimriya, As-Saubaniyah, Ash-Salihiyah, AL-Yunusiyah, Asy-Syimriyah,
As-Saubaniyah, An-Najjariyah, Al-Kailaniyah bin Syabib dan pengikutnya, Abu
Hanifah dan pengikutnya, At-Tumaniyah, Al-Marisiyah, dan Al-Karramiyah.
Sementara itu, harun Nasution dan Abu Zahrah membedakan Murji’ah menjadi dua
kelompok utama, yaitu Murji’ah moderat (Murji’ah Sunnah) dan Murji’ah ekstrim
(Murji’ah Bid’ah). Namun kedua belas kelompok tersebut masing-masing memiliki
pendapat mengenai Iman dan kufur. Dan aliran Mur’jiah ini kemudian berbeda
anggapan tentang batasan kufur yang terpecah dalam tujuh kelompok.
a.
Kelompok pertama ini beranggapan: kufur ini beranggapan: kufur itu merupakan
sesuatu hal yang berkenaan dengan hati, dimana hati tidak mengenal (jahl) terhadap
Allah swt. Adapun mereka yang beranggapan seperti ini ialah para pengikut
kelompok Jahamiyyah.
b.
Kelompok kedua ini beranggapan: kufur itu merupakan banyak hal yang berkenaan
dengan hati ataupun selainnya, seperti tidak mengenal (Jahl) terhadap Allah
swt, membenci dan sombong atas-Nya, mendustakan Allah dan rasul-Nya,
menyepelekan Allah dan rasul-Nya, tidak mengakui Allah itu Esa dan
menganggap-Nya lebih dari satu. Karena itu mereka pun menganggap bisa saja
terjadi kekufuran tersebut, baik dengan hati ataupun lisan, tetapi bukan dengan
perbuatan, dan begitupun iman. Mereka pun beranggapan bahwa sesorang yang
membunuh ataupun hanya menyakiti nabi dengan tidak karena mengingkarinya,
tetapi hanya karena membunuh ataupun menyakiti itu semata, niscaya dia tidaklah
disebut kufur. Begitupun seseorang yang meninggalkan kewajiban agama seperti
halnya salah dengan tidak karena menghalalkannya, tetapi hanya karena
meninggalkan salat itu semata, niscaya dia pun tidaklah disebut kufur. Tetapi
mereka beranggapan: kalau seseorang menghalalkan sesuatu yang diharamkan Allah,
rasul-Nya dan juga orang-orang muslim, niscaya dia pun disebut kufur. Begitupun
kalau seseorang beritikad dengan itikad yang menurut kesepakatan segenap orang
muslim merupakan suatu kekufuran, atau berbuat dengan perbuatan yang merupakan
suatu kekufuran. Niscaya dia pun disebut sebagai orang kafir.
c.
Kelompok ketiga ini tidak dijelaskan.
d.
Kelompok keempat itu beranggapan: Kufur terhadap Allah itu mendustakan-Nya,
membangkang terhadap-Nya dan mengingkari-Nya secara lisan. Karena itu tidaklah
kekufuran, kecuali dengan lisan dan bukan dengan selainnya. Adapun anggapan ini
dikemukakan oleh Muhammad ibn karam dan para pengikutnya.
e.
Kelompok kelima ini beranggapan: kufur itu membangkang melawan dan mengingkari
Allah, baik sepenuh hati ataupun secara lisan.
f.
Kelompok keenam ini ialah para pengikut Abu Syamr, dimana anggapan-anggapan
mereka tentang kufur ini telah di kemukakan dalam uraian yang terdahulu, yang
menyangkut anggapannya tentang tauhid dan qadar.
g.
Kelompok ketujuh ini ialah para pengikut Muhammad ibn Syabib di mana
anggapan-anggapan mereka tentang kufur ini pun telah dikemukakan dalam uraian
yang terdahulu, yang menyangkut anggapannya tentang iman. Adapun kebanyakan
pengikut aliran Murji’ah tidak mengkufurkan seseorang yang mentakwilkan
al-Quran, bahkan tidak pula mengkufurkan siapa pun selain yang kekufurannya itu
telah disepakati orang-orang muslim.
3.
Mu’tajilah Menurut mereka iman adalah pelaksanaan kewajiban-kewajiban kepada
Tuhan. Jadi, orang yang membenarkan (tashdiq) tidak ada Tuhan selain Allah dan
Muhammad rasul-Nya, tetapi tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban itu tidak
dikatakan mukmin. Tegasnya iman adalah amal. Iman tidak berarti pasif, menerima
apa yang dikatakan orang lain, iman mesti aktif karena akal mampu mengetahui
kewajiban-kewajiban kepada Tuhan. Kaum Mu’tajilah berpendapat bahwa orang
mukmin yang mengerjakan dosa besar dan mati sebelum tobat, tidak lagi mukmin
dan tidak pula kafir, tetapi dihukumi sebagai orang fasiq. Di akhirat ia
dimasukkan ke neraka untuk selama-lamanya, tetapi nerakanya agak dingin tidak
seperti nerakanya orang kafir. Dan tidak pula berhak masuk surga. Jelasnya
menurut kaum Mutazilah, orang mu’min yang berbuat dosa besar dan mati sebelum
tobat, maka menempati tempat diantara dua tempat, yakni antara neraka dan surga
(manzilatan bainal manzilatain).
4. Asy’ariyah Agak pelik untuk memahami makana
iman yang diberikan oleh Abu Al-Hasan Al-Asy’ari sebab, di dalam karya-karyanya
seperti Muqalat, Al-Ibanah, dan Al-Luma, ia mendefinisikan iman secara
berbeda-beda. Dalam Muqalat dan Al-Ibanah disebutkan bahwa iman adalah qawl dan
amal dan dapt bertambah dan berkurang. Dalam Al-Luma, iman diartikan sebagai
tashdiq bi Allah. Kaum Asy’ariyah – yang muncul sebagai reaksi terhadap
kekerasan Mu’tazilah memaksakan paham khalq al-Quran – banyak membicarakan
persoalan iman dan kufur. Asy’ariyah berpendapat bahwa akal manusia tidak bisa
merupakan ma’rifah dan amal. Manusia dapat bahwa akal manusia tidak bisa
merupakan ma’rifah dan amal. Manusia dapat mengetahui kewajiban hanya melalui
wahyu bahwa ia berkewajiban mengetahui Tuhan dan manusia harus menerimanya
sebagai suatu kebenaran. Oleh karena itu, iman bagi mereka adalah tashdiq.
Pendapat ini berbeda dengan kaum Khawarij dan Mu’tajilah tapi dekat dengan kaum
Jabariyah. Tasdiq menurut Asy’ariyah merupakan pengakuan dalam hati yang
mengandung ma’rifah terhadap Allah (qaulun bi al-nafs ya tadhammanu
a’rifatullah). Mengenai penuturan dengan lidah (iqrar bi al-lisan) merupakan
syarat iman, tetapi tidak termasuk hakikat iman yaitu tashdiq . argumentasi
mereka istilah al-nahl, ayat 106. من كفر بالله من بعد أيمانه الأمن أكره و قلبه
مطمئن بالإيمان Seseorang yang menuturkan kekafirannya dengan lidah dalam
keadaan terpaksa, sedangkan hatinya tetap membenarkan Tuhan dan rasul-Nya, ia
tetap dipandang mukmin. Karena pernyataan lidah itu bukan iman tapi amal yang
berada di luar juzu’iman. Seseorang yang berdosa besar tetap mukmin karena iman
tetap berada dalam hatinya.
5.
Al-Maturidiyah Dalam masalah iman, aliran Maturidiyah Samarkand berpendapat
bahwa iman adalah tashdiq bi al-qalb, bukan semata-mata iqrar bi al-lisan.
Pengertian ini dikemukakan oleh Al-Maturidi sebagai bantahan terhadap
al-Karamiyah, salah satu subsekte Murji’ah. Ia berargumentasi dengan ayat
al-Quran surat al-Hujurat 14. Ayat tersebut dipahami al-Maturidi sebagai suatu
penegasan bahwa keimanan itu tidak cukup hanya dengan perkataan semata, tanpa
diimani pula oleh kalbu. Apa yang diucapkan oleh lidah dalam bentuk pernyataan
iman, menjadi batal bila hati tidak mengakui ucapan lidah. Al-Maturidi tidak
berhenti sampai di situ. Menurutnya, tashdiq, seperti yang dipahami di atas,
harus diperoleh dari ma’rifah. Tashdiq hasil dari ma’rifah ini didapatkan
melalui penalaran akal, bukan sekedar berdasarkan wahyu. Lebih lanjut,
Al-Maturidi mendasari pandangannya pada dalil naqli surat Al-Baqarah ayat 260.
Pada surat Al-Baqarah tersebut dijelaskan bahwa Nabi Ibrahim meminta kepada
Tuhan untuk memperlihatkan bukti dengan Nabi Ibrahim meminta kepada Tuhan untuk
memperlihatkan bukti dengan menghidupkan orang yang sudah mati. Permintaan
Ibrahim tersebut, lanjut Al-maturidi, tidaklah berarti bahwa Ibrahim belum
beriman. Akan tetapi, Ibrahim mengharapkan agar iman yang telah dimilikinya dapat
meningkat menjadi iman hasil ma’rifah. Jadi, menurut Al-Maturidi, iman adalah
tashdiq yang berdasarkan ma’rifah. Meskipun demikian, ma’rifah menurutnya sama
sekali bukan esensi iman, melainkan faktor penyebab kehadiran iman. Adapun
pengertian iman menurut Maturidiyah Bukhara, seperti yang dijelaskan oleh
Al-Bazdawi, adalah tashdiq bi al qalb dan tashdiq bi al-lisan. Lebih lanjut
dijelaskan bahwa tashdiq bi al-qalb adalah meyakini dan membenarkan dalam hati
tentang keesaan Allah dan rasul-rasul yang diutus-Nya beserta risalah yang
dibawanya. Adapun yang dimaksud demgan tashdiq al-lisan adalah mengakui
kebenaran seluruh pokok ajaran Islam secara verbal. Pendapat ini tampaknya
tidak banyak berbeda dengan Asy’ariyah, yaitu sama-sama menempatkan tashdiq
sebagai unsur esensial dari keimanan walaupun dengan pengungkapan yang berbeda.
6.
Ahlus Sunnah Menurut Ahlus Sunnah, Iman ialah mengikrarkan dengan lisan dan
membenarkan dengan hati. Iman yang sempurna ialah mengikrarkan dengan lisan,
membenarkan dengan hati dan mengerjakan dengan anggota. Orang mukmin yang
melakukan dosa besar dan mati sebelum tobat, maka orang itu tetap mukmin. Bila
orang itu tidak mendapat ampunan dari Allah dan tidak pula mendapat syafa’at
Nabi Muhammad saw untuk mendapatkan ampunan dari Allah swt maka orang itu
dimasukkan ke neraka buat sementara, kemudian dikeluarkan dari neraka untuk
dimasukkan ke surga. Orang mukmin bisa menjadi kafir (murtad), karena
mengingkari rukun iman yang enam, misalnya: ragu-ragu atas adanya Tuhan,
menyembah kepada makhluk, menuduh kafir kepada orang Islam.
BAB
III.
PERBANDINGAN
ANTAR ALIRAN TENTANG PERBUATAN TUHAN DAN PERBUATAN MANUSIA
A. PERBUATAN TUHAN
Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa, mahakuasa dan Maha
Berkehendak. Keyakinan demikian disepakati oleh semua umat Islam. Namun, mereka
berbeda pendapat tentang kemutlakan kekuasaan dan kehendak Tuhan itu. Apakah
kehendak dan kekuasaan Tuhan itu bersifat mutlak tanpa batas atau ada
batas-batas tertentu sehingga Tuhan “tidak berkuasa mutlak”?. Adapun berikut
ini beberapa pendapat aliran-aliran mengenai kekuasaan dan kehendak mutlak
Tuhan, yaitu: 1. Mu’tazilah Mu’tazilah, sebagai aliran rasionalis yang
menempatkan akal pada posisi yang tinggi dan meyakini kemampuan akal untuk
dapat memecahkan problema teologis, berpendapat, kekuasaan Tuhan tidak mutlak
sepenuhnya. Kekuasaan-Nya dibatasi oleh Tuhan tidak mutlak sepenuhnya.
Kekuasaan-Nya dibatasi oleh beberapa hal yang diciptakan-Nya sendiri. Hal-hal
yang membatasi kekuasaan Tuhan tersebut antara lain adalah: a) Kewajiban tidak
memberikan beban di luar kemampuan manusia. b) Kewajiban mengirimkan rasul. c)
Kewajiban menepati janji (al-Wa;d) dan ancaman (al-Wa’id). d) Kebebasan dan
kemerdekaan manusia untuk melakukan perbuatannya. e) Hukum alam. Allah
menciptakan alam semesta ini dengan hukum-hukum tertentu yang bersifat tetap.
Hukum-hukum itu biasanya dinamakan hukum alam. Dengan ketentuan tersebut, Tuhan
tidak berkuasa mutlak lagi. Kekuasaanya-Nya dibatasi oleh hukum-hukum yang
diciptakan-Nya sendiri. Para pengikut Mu’tazillah berbeda anggapan, apakah
perbuatan Allah SWT, itu berakhir atau tidak? Tentang hal ini mereka terpecah
dalam dua anggapan:
1. Jaham ibn Shafwan beranggapan bahwa, segala sesuatu yang
dikuasai dan diketahui Allah SWT itu niscaya berakhir, bahkan surge dan neraka
beserta para penghuninya pun niscaya musnah akhirnya, sehingga tinggallah Allah
SWT sendiri sebagai dzat yang maha akhir sebagaimana mulanya pun dia merupakan
yang maha awal yang tiada sesuatu pun yang menyertai-Nya.
2. Para pengikut aliran Mu’tazillah lainnya beranggapan
bahwa, surga dan neraka itu tidaklah berakhir, bahkan keduanya niscaya selalu
kekal, begitupun dengan para penghuni surga itu pun niscaya kekal di dalam
surganya mengenyam kenikmatan-kenikmatan yang dikaruniakan Allah, sebaliknya
para penghuni neraka akan mendapat siksa yang ditimpakan Allah kepada mereka.
3. Asy’ariyah Pendapat Mu’tazilah di atas bertolak belakang
dengan pendapat Asy’ariyah. Menurut Asy’ariyah. Tuhan berkuasa mutlak atas
segala-galanya. Tidak ada satupun yang membatasi kekuasaan-Nya itu. Karena
kekuasaan Tuhan bersifat absolute, biasa saja Tuhan memasukkan orang jahat atau
kafir ke dalam surga atau memasukkan orang mukmin yang saleh ke dalam nereka,
jika hal itu memang dikehendaki-Nya. Apabila Tuhan berbuat demikian, menurut
pendapat ini, bukan berarti Tuhan tidak adil. Keadilan Tuhan tidaklah berkurang
dengan perbuatan-Nya itu sebab semua yang ada saja terhadap ciptaan dan
milik-Nya. Sebagai zat yang memiliki kekuasaan absolute dan mutlak, bagi
Asy’ariyah, Tuhan tidak terikat dengan janji-janji, norma-norma keadilan,
bahkan tidak terikat dengan janji-janji, norma-norma, bahkan tidak terikat
dengan apa pun.
4. Maturidiyah Sekalipun golongan ini tidak se ekstrem
Asy’ariyah, yang memiliki paham yang dekat dengan Asy’ariyah. Golongan
maturidiyyah berpendapat bahwa Tuhan memiliki kekuasaan mutlak, namun
kemutlakannya tidak semutlak paham yang dianut oleh Asy’ariyah kemudian
kelompok Maturidiyyah ini terbagi menjadi Maturidiyyah Bukhara dan Maturidiyyah
Samarkand Maturidiyyah Bukhara berpendapat bahwa: Tuhan tidak mungkin melanggar
janji-janji-Nya memberi pahala kepada orang yang berbuat baik dan menghukum
orang yang berbuat jahat. Pendapat al-Bazdawi ini menunjukkan bahwa kekuasaan
Tuhan tidak mutlak sepenuhnya sebagaimana pendapat Asy’ariyah sebab masih
terkandung adanya kewajiban Tuhan, yaitu kewajiban menepati janji. Kalau
Maturidiyyah Bukhara lebih dekat kepada pemikiran Asy’ariyah. Maturidiyyah
Samarkan lebih dekat kepada pemikiran Mu’tazilah sekalipun tidak seekstrim Mu’tazilah.
Bagi golongan ini, Tuhan memang memiliki kekuasaan mutlak, namun kekuasaan-Nya
dibatas oleh batasan yang diciptakan-Nya sendiri. Batasan-batasan tersebut,
menurut Prof. Dr. Harun Nasution adalah:
a. Kemerdekaan dalam kemauan dan perbuatan yang, menurut
pendapat mereka, ada pada manusia. b. Keadaan Tuhan menjatuhkan hukuman bukan
sewenang-wenang, tetapi berdasarkan atas kemerdekaan manusia dalam
mempergenukan daya yang diciptakan Tuhan dalam dirinya utnuk berbuat baik atau
berbuat jahat. c. Keadaan hukuman-hukuman tuhan, sebagai kata al-Bazdawi, tak
boleh tidak mesti terjadi.
B. PERBUATAN MANUSIA
Masalah
perbuatan manusia bermula dari pembahasan sederhana yang dilakukan oleh
kelompok Jabariyah dan kelompok Qadariyah, yang kemudian dilanjutkan dengan
pembahasan lebih mendalam oleh aliran Mu’tazilah, Asyi’ariyah, Maturidiyah, dan
Rafidhah. Akar dari permasalahan perbuatan manusia adalah keyakinan bahwa Tuhan
adalah pencipta alam semesta, termasuk di dalamnya manusia sendiri. Tuhan
bersifat Maha kuasa dan mempunyai kehendak yang bersifat mutlak. Maka di sini
timbullah pertanyaan, sampai di manakah manusia sebagai ciptaan Tuhan
tergantung kepada kehendak dan kekuasaan Tuhan dalam menentukan perjalanan
hidup?, dan apakah manusia terikat seluruhnya kepada kehendak dan kekuasaan
mutlak Tuhan?. 1. Aliran Jabariyah Dalam pembahasan mengenai perbuatan manusia
tampaknya ada perbedaan pandangan antara Jabariyah Ekstrim dan Jabariyah
Moderat. Jabariyah Ekstrim berpendapat bahwa segala perbuatan manusia bukanlah
merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya sendiri, tetapi kemauan yang
dipaksakan atas dirinya. Salah seorang tokoh Jabariyah Ekstrim, mengatakan
bahwa manusia tidak mampu berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak
mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan. Jabariyah Moderat
mengatakan bahwa Tuhan menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat
maupun perbuatan baik, tetapi manusia mempunyai peranan di dalamnya. Tenaga
yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan
perbuatannya. Inilah yang dimaksud dengan kasab (acquisition), menurut faham
kasab manusia tidaklah majbur. Tidak seperti wayang yang dikendalikan oleh
dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan. Tetapi manusia itu memperoleh
perbuatan yang diciptakan oleh Tuhan.
2.
Aliran Qadariyah Aliran Qadariyah menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia
dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk
melakukan segala perbuatannya atas kehendaknya sendiri, baik itu berbuat baik
maupun berbuat jahat. Karena itu ia berhak menentukan pahala atas kebaikan yang
dilakukannya dan juga berhak memperoleh hukuman atas kejahatan yang telah ia
perbuat. Faham takdir dalam pandangan Qadariyah, takdir itu adalah ketentuan
Allah yang diciptakan-Nya untuk alam semesta beserta seluruh isinya yang dalam
istilah al-Qur’an adalah Sunatullah. Aliran Qadariyah berpendapat bahwa tidak
ada alasan yang tepat menyandarkan segala perbuatan manusia kepada perbuatan
Tuhan. Doktrin-doktrin ini mempunyai tempat pijakan dalam doktrin Islam sendiri
banyak ayat al-Qur’an yang mendukung pendapat ini misalnya dalam surat al-Kahfi
ayat ke-29 yang artinya : “Katakanlah, kebenaran dari Tuhanmu, barang siapa
yang mau, berimanlah dia, dan barang siapa yang ingin kafir maka kafirlah ia”
3.
Aliran Mu’tazilah Aliran Mu’tazilah memandang manusia mempunyai daya yang besar
dan bebas. Oleh karena itu, Mu’tazilah menganut faham Qadariyah atau free wil.l
Menurut tokoh Mu’tazilah manusia yang menciptakan perbuatan-perbuatannya.
Mu’tazilah dengan tegas menyatakan bahwa daya juga berasal dari manusia. Daya
yang terdapat pada diri manusia adalah tempat terciptanya perbuatan. Jadi Tuhan
tidak dilibatkan dalam perbuatan manusia. Aliran Mu’tazilah mengecam keras
faham yang mengatakan bahwa Tuhanlah yang menciptakan perbuatan. Menurut mereka
bagaimana mungkin dalam satu perbuatan akan ada dua daya yang menentukannya.
Aliran Mu’tazilah mengaku Tuhan sebagai pencipta awal, sedangkan manusia
berperan sebagai pihak yang berkreasi untuk mengubah bentuknya. Untuk membela
fahamnya, aliran Mu’tazillah mengungkapkan ayat sebagai berikut: الذي احسن كل
شئ خلقه (السجدة) Artinya: “ Yang membuat segala sesuatu yang dia ciptakan
sebaik-baiknya.” (QS. As-Sajadah : 32). Disamping itu pula aliran ini
mengemukakan argumentasi yang lain berupa:
a)
Kalau Allah menciptakan perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri tidak
mempunyai perbuatan, maka batallah taklif syar’i, hal ini karena karena
syari’at adalah ungkapan perintah dan larangan yang merupakan thalab. Pemenuhan
thalab tidak terlepas dari kemampuan, kebebasan, dan pilihan.
b)
Kalau manusia tidak bebas untuk melakukan perbuatannya, runtuhlah teori pahala
dan hukuman yang muncul dalam konsep al-Wa’ad dan al-Wa’id.
c)
Kalau manusia tidak mempunyai kebebasan dan pilihan,pengutusan para nabi tidak
ada gunanya sama sekali.
4.
Aliran Asy’ariyah Dalam faham Asy’ari, manusia ditempatkan pada posisi yang
lemah. Ia diibaratkan anak kecil yang tidak memiliki pilihan dalam hidupnya.
Oleh karena itu Aliran ini lebih dekat dengan faham jabariyah daripada faham
Mu’tazilah. Untuk menjelaskan dasar pijakannya, Asy’ari memakai teori Al-kasb
(acquisition, perolehan), segala sesuatu terjadi dengan perentaraan daya yang
diciptakan, sehingga menjadi perolehan dari muktasib (yang memperoleh kasb)
untuk melakukan perbuatan, dimana manusia kehilangan keaktifan, yang mana
manusia hanya bersikap pasif dalam perbuatan-perbuatannya. Untuk membela
keyakinan tersebut Al-Asy’ari mengemukan dalil Al-qur’an sebagai berikut: والله
خلقكم وما تعملون (الصافا ت) Artinya : “Tuhan menciptakan kamu dan apa yang kamu
perbuat” (Q.S. Ash-shaffat : 96) Aliran Asy’ariyah berpendapat bahwa perbuatan
manusia diciptakan Allah, sedangkan daya manusia tidak mempunyai efek untuk
mewujudkannya, dengan demikian Kasb mempunyai pengertian penyertaan perbuatan
dengan daya manusia yang baru. Ini implikasi bahwa perbuatan manusia dibarengi
kehendaknya, dan bukan atas daya kehendaknya.
5.
Aliran Maturidiyah Mengenai perbuatan manusia ini, terdapat perbedaan pandangan
antara Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah bukhara. Kelompok pertama lebih
dekat dengan faham mu’tazilah, sedangkan kelompok kedua lebih dekat dengan
faham Asy’ariya. Kehendak dan daya buat pada diri manusia manurut Maturidiyah
Samarkand adalah kehendak dan daya manusia dalam arti kata sebenarnya, dan
bukan dalam arti kiasan. Perbedaannya dengan Mu’tazilah adalah bahwa daya untuk
berbuat tidak diciptakan sebelumnya, tetapi bersama-sama dengan perbuatannya.
Daya yang demikian posisinya lebih kecil daripada daya yang terdapat dalam
faham Mu’tazilah. Oleh karena itu, manusia dalam faham Al-Maturidi, tidaklah
sebebas manusia dalam faham Mu’tazilah. Maturidiyah bukhara dalam banyak hal
sependapat dengan Maturidiyah Samarkand. Hanya saja golongan ini memberikan
tambahan dalam masalah daya menurutnya untuk perwujudan perbuatan, perlu ada
dua daya. Manusia tidak mempunyai daya untuk melakukan perbuatan yang telah
diciptakan Tuhan baginya.
6.
Aliran Rafidhah Para pengikut Rafidhah berbeda anggapan tentang perbuatan
manusia, apakah perbuatan itu merupakan sesuatu atau bukan? Dan apakah
perbuatan itu merupakan jisim atau bukan?
1.
Kelompok Hisyammiyah ialah para pengikut Hisyam ibn al-Hakam al-Rafidhi, dimana
mereka beranggapan bahwa perbuatan-perbuatan itu merupakan sifat dari yang
berbuat bukan sebagai yang berbuat dan bukanlah selainnya, dan perbuatan itu
pun bukan jisim, bukan pula sesuatu yang lain. Hisyam pernah berkata : “gerakan
itulah perbuatan, sementara dia bukan perbuatan.”
2.
Kelompok pengikut Hisyam ibn Salim al-Jawaliqi dan Syaithan al-Thaq, di mana
mereka beranggapan bahwa gerakan, perbuatan dan diamnya hamba Allah itu
merupakan sesuatu, bahkan merupakan jisim. Sehingga hal ini bukanlah sesuatu
yang lain, kecuali sebagai jisim, di mana hamba tersebut sebenarnya membuat
berbagai jisim.
3.
Kelompok yang berpendapat bahwa perbuatan-perbuatan manusia dan hewan itu
merupakan jisim. Begitu pun anggapan mereka tentang warna, bau, suara ataupun
semua sifat-sifat jisim.
BAB III PENUTUP
Kesimpulan Dalam perkembangannya,
Ilmu kalam berkembang dengan berbagai permasalahannya yang menyangkut berbagai
aspek kehidupan manusia, mulai dari permasalahan pelaku dosa besar, penentuan
iman dan kufurnya manusia, dan juga tentang perbuatan Tuhan dan manusia yang
aliran-aliran dalam Ilmu Kalam mempunyai pendapat yang berlainan. Aliran-aliran
dalam Ilmu Kalam masing-masing mempunyai pendapat yang berlandaskan kepada
dalil-dalil Naqli dan Aqli, oleh sebab itu masing-masing mereka tidak dapat
disalahkan atau bahkan mencap salah satu mereka adalah aliran sesat. Siapa yang
benar dan salah, hanyalah Allah yang tahu semuanya, dan kita akan mengetahui
semuanya itu kelak di negeri akhirat. B. Saran Sebagai umat Islam yang
mempunyai Ukhuah Islamiyah yang tinggi sebaiknya kita mengetahui semua tentang
pendapat-pendapat antar aliran, agar kita dapat memilah dan memilih mana yang
sebaiknya kita ikuti tetapi jangan menganggap rendah aliran yang menurut kita
tidak sejalan dengan keyakinan kita.
By : Osin Utami
Tidak ada komentar:
Posting Komentar