Sabtu, 27 Desember 2014

Muhasabah dan Renungan Akhir Tahun 2014-2015

Saudara-saudaraku yang semoga dirahmati Allah Swt, Marilah kita senantiasa bertakwa kepada Allah Swt kapan dan di manapun kita berada. Karena dengan bertakwalah seseorang akan mendapatkan pertolongan-Nya untuk bisa menghadapi berbagai problema dan kesulitan yang menghadangnya. Begitu pula, marilah kita senantiasa merenungkan betapa cepatnya waktu berjalan serta mengambil pelajaran dari kejadian-kejadian yang kita saksikan. Bulan demi bulan telah berlalu dan tanpa terasa kita telah berada di pengujung tahun Masehi. Tidak lama lagi tahun yang lama akan berlalu dan akan datang tahun yang baru. Hal ini menunjukkan semakin berkurangnya waktu hidup kita di dunia dan mengingatkan semakin dekatnya ajal kita. Maka sungguh aneh ketika didapatkan ada sebagian orang yang justru bersenang-senang dengan berfoya-foya dalam menyambut tahun baru. Seakan-akan dia tidak ingat bahwa dengan bertambahnya hari maka bertambah dekat pula saat kematiannya. Di sisi lain, perayaan tahun baru tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah Saw dan para sahabatnya. Bahkan hal itu justru merupakan kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang orang kafir. Karena mereka sebagaimana disebutkan oleh Allah Swt adalah orang-orang yang tertipu dengan kehidupan dunia sehingga yang mereka bangga-banggakan adalah kemewahan dunianya. Allah Swt telah menyebutkan tentang mereka di dalam firman-Nya: “Dan mereka (orang-orang kafir) berbangga-bangga dengan kehidupan dunianya, padahal tidaklah kehidupan dunia itu (dibanding dengan) kehidupan akhirat, kecuali hanyalah kesenangan (yang sedikit).” (Ar-Ra’d: 26) Ayat-ayat yang semisal ini banyak disebutkan dalam Al-Qur’an. Mengingatkan kita untuk tidak mengikuti akhlak orang-orang kafir yang membangga-banggakan dunia. Yang demikian ini karena sifat membangga-banggakan dunia akan menyeret pelakunya pada kesombongan dan melalaikannya dari mengingat kematian dan beramal untuk akhiratnya. Oleh karena itu wajib bagi kaum muslimin untuk meninggalkan kebiasaan mereka dalam merayakan tahun baru masehi, karena acara tersebut bukan termasuk ajaran Islam. Bahkan merupakan kebiasaan orang-orang kafir. Saudara-saudaraku yang semoga dirahmati Allah Swt, Adapun yang semestinya dilakukan oleh seorang muslim terlebih di akhir tahun ini adalah berupaya untuk melakukan interopeksi diri. Selanjutnya bertaubat kepada Allah Swt atas seluruh kesalahan yang telah dilakukannya serta memohon ampun atas kekurangannya dalam menjalankan ketaatan kepada-Nya. Di samping itu juga memohon pertolongan kepada-Nya untuk bisa istiqamah dan senantiasa bertambah ilmu dan amal shalihnya. Begitu pula berusaha agar hari yang akan datang senantiasa lebih baik dari yang sebelumnya, sehingga hidupnya lebih baik dari kematiannya. Saudaraku... Ketahuilah bahwa waktu adalah sesuatu yang sangat berharga bagi seorang muslim. Bahkan lebih berharga dari harta dunia yang dimilikinya. Karena harta apabila hilang maka masih bisa untuk dicari. Sementara waktu apabila telah berlalu tidak mungkin untuk kembali lagi. Sehingga tidak ada yang tersisa dari waktu yang telah lewat kecuali apa yang telah dicatat oleh malaikat. Maka sungguh betapa ruginya orang yang tidak memanfaatkan waktunya apalagi jika dipenuhi dengan kemaksiatan kepada Rabb-nya. Meskipun kehidupannya serba tercukupi dan serba ada, namun apalah artinya kalau seandainya berakhir dengan menerima siksaan api neraka. Allah Swt berfirman: “Maka tentunya engkau tahu, jika Kami berikan kepada mereka kenikmatan hidup bertahun-tahun. Kemudian datang kepada mereka azab yang telah diancamkan kepada mereka niscaya tidak berguna bagi mereka apa yang mereka selalu menikmatinya.” (Asy-Syu’ara: 205-207) Akhirnya, mudah-mudahan Allah Swt menjadikan tahun yang akan datang dan tahun-tahun berikutnya menjadi tahun yang penuh dengan keamanan dan kesejahteraan. Mudah-mudahan kaum muslimin baik masyarakatnya maupun para pemimpin bangsanya dimudahkan untuk semakin memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman para sahabat dan para ulama yang mengikuti jalannya serta dalam mengamalkan keduanya. Walhamdulillahi rabbil ’alamin.

Sabtu, 06 Desember 2014

ISLAM SEBUAH IMPERIUM ILMU

KAJIAN HISTORIS
“Dan apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi dan memperhatikan bagaimana akibat (yang diderita) oleh orang-orang sebelum mereka? orang-orang itu adalah lebih kuat dari mereka (sendiri) dan Telah mengolah bumi (tanah) serta memakmurkannya lebih banyak dari apa yang Telah mereka makmurkan. dan Telah datang kepada mereka rasul-rasul mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata. Maka Allah sekali-kali tidak berlaku zalim kepada mereka, akan tetapi merekalah yang berlaku zalim kepada diri sendiri”. (Q.S. Ar Ruum : [30] : 9)
Islam Sebuah Peradaban
            Pada abad ke- 7 H pasukan Tatar dibawah pimpinan Hulagu Khan -cucu Jenggis Khan- menghancurkan Baghdad yang pada waktu itu dipimpin oleh khalifah al Mu’tashim, khalifah terakhir dari dinasti Abbasiyah. Al Khumaisiy menjelaskan dalam bukunya Tarikh al Khumaisiy bahwa tentara Tatar melakukan perampokan, pengrusakan dan pembunuhan terhadap penduduk di hampir seluruh daerah di Bahgdad. Bahkan, juga membunuh khalifah al Mu’tashim dan beberapa pembesar negara serta tokoh-tokoh masyarakat yang lain. Ini merupakan suatu peristiwa yang sangat memukul kaum muslimin di mana tidak pernah dialami sebelum dan sesudahnya.
            Biasanya tradisi bangsa yang dikuasai cendrung mengikuti budaya bangsa yang menguasai, tetapi di sini kaidah itu terbalik. Bangsa Mongolia mengadopsi peradaban Islam, bangsa yang sedang dijajah kala itu. Hal ini menunjukkan bahwa bangsa Mongolia tidak memiliki peradaban. Sebab itu, mereka meleburkan diri ke dalam masyarakat Islam, hidup di sana dan menjadi orang-orang Muslim. Dalam jangka waktu kurang dari satu abad, mereka semua menjadi Islam dan menjadi pembela-pembela negeri Muslim. Peradaban Islam dikibarkan oleh bangsa yang pernah menjajahnya menjadi satu peradaban yang kuat, seperti Peradaban Ilkhaniyah di Iraq, penguasanya yang terkemuka dan paling memiliki keutamaan adalah Sultan Mahmud Ghazan (695 – 704 H/1295 – 1304 M). Selain itu, berdiri Al Jalairiyah di Iraq (736 – 813 H/1335 – 1410 M) yang didirikan oleh Hasan bin Husein Jalair. Ia adalah pemimpin Mongolia, namun bukan dari keturunan Hulagu. Di India berdiri Peradaban Islam Mongol Muslim dengan pendirinya Zhahiruddin Babur (932 – 1275 H/1526 – 1858 M).
            Jelaslah bahwa Islam selain sebagai agama, Islam sebagai sebuah peradaban, sebuah Imperium yang besar. Peradaban yang dibangun dan ditinggikan dengan tradisi keilmuan yang kuat. Ini dapat dilihat bagaimana bangsa Mongol di awal kemunculannya adalah bangsa yang barbarian, penuh kekerasan dan penghancuran, menjadi bangsa yang justru membela negeri-negeri muslim, membangun peradabannya dengan Islam. Islam tidak hanya menjadi hiasan fisik atau budaya semata, akan tetapi Islam juga telah menjadi keyakinan mereka. Sentuhan awal bangsa Mongol-Islam saat itu di Baghdad dengan penindasan dan kekerasan berakhir dengan persaudaraan dan kemajuan. Ini juga salah satu fakta historis-empiris yang mendukung bahwa Islam tersebar tidak dengan cara pedang atau lumuran darah, sebagaimana yang dituduhkan dalam beberapa literatur sejarah, khususnya yang ditulis oleh orang-orang Orientalis, semisal Mountgomery Watt dan lain-lain.  
Islam sebuah Imperium Ilmu
            Dalam sejarah dunia, Islam tercatat sebagai salah satu Imperium kuat yang menguasai wilayah yang luas, pada masa yang cukup lama dari abad ke-8 M sampai pada abad ke-18 M, yang membentang dari Maroko (maghrib) di tepi Atlantik sampai Merauke (masyriq) di Nusantara. Imperium yang menaungi 10 bangsa atau etnis yang berbeda serta meninggalkan jejak peradaban yang signifikan, yang terasa sampai saat ini. Terbentuknya kekuasaan Islam yang kemudian dicatat sejarah sebagai sebuah “imperium” tidaklah terjadi tiba-tiba. Dengan kata lain, bagaimana Islam dalam jangka waktu yang relatif singkat dan dengan waktu yang lama mampu menjadi sebuah Imperium yang kuat, setara dengan Romawi dan Persia waktu itu ?.  
            Alvin Toffler dalam The Future Shock menjelaskan bahwa pengaruh dan kepemimpinan, baik dalam skala kecil maupun skala imperium, bisa timbul oleh tiga hal; Pertama, muscle – pengaruh yang ditimbulkan oleh kekuatan fisik (militer). Artinya bangsa atau negara yang di bawah pengaruhnya, bisa dikuasai karena dipaksa, karena takut, atau karena meminta perlindungan. Inilah pada umumnya imperium Romanum, Persia dan juga negara-negara yang terjajah oleh negara kapitalis di abad pertengahan.
            Kedua, money – pengaruh yang ditimbulkan oleh kekuatan ekonomi, termasuk sumberdaya alam. Artinya bangsa atau negara yang yang di bawah pengaruhnya bisa dikuasai karena mendapat kompensasi ekonomi (hutang, investasi, akses sumber alam, akses produk, akses pasar). Inilah yang terjadi di abad-20 dengan Uni Soviet dan AS. Di masa komunis, negara-negara Eropa Timur merasa perlu bergabung dengan Uni Soviet karena akses kepada minyak dan gas Soviet – yang tidak perlu dibeli dengan $ di pasar bebas, tapi cukup dibarter dengan gula atau buah-buahan. Ketiga, mind – pengaruh yang ditimbulkan oleh kekuatan pemikiran, termasuk gaya hidup dan teknologi. Artinya bangsa atau negara yang di bawah pengaruhnya bisa dikuasai karena pemikiran yang diembannya. Pemikiran yang merasuki itulah yang membuat mereka mau dipimpin oleh sang imperior.
            Menurut Toffler, model kepemimpinan yang ketiga inilah yang paling tinggi mutunya. Meski beberapa imperium terbukti saat ini memiliki ketiga-tiganya, Namun dilihat dari sejarahnya, selalu dapat dimengerti bahwa semua bermula dari pemikiran. Setelah ada pemikiran, maka kekuatan ekonomi dapat dibangun dan dipertahankan lebih lama. Dengan kekuatan ekonomi ini maka kekuatan fisik dapat dibiayai lebih lama. Tanpa kekuatan pemikiran, maka kekuatan ekonomi mudah dibuat loyo, dan tanpa kekuatan ekonomi, kekuatan fisik hanya bisa dipertahankan sebentar.
            Berdasarkan teori di atas, Islam suatu Imperium yang dibangun dengan kekuatan mind atau pemikiran (ilmu) yang berasaskan wahyu (tawhid). Wahyu sebagai sumber pemikiran (ilmu) yang mewujud dalam setiap pikiran diri atau masing-masing individu muslim, yang kemudian menjadi kerangka kerja (framework) dalam memahami segala sesuatunya. Kenyataan ini dapat dilihat dalam fakta sejarah kemunculan Islam yang dibawa oleh seorang Rasul Muhammad Saw. Ia mengajarkan ilmu di mana manusia sebelumnya tidak mengetahuinya. Kemudian, melahirkan satu generasi yang luar biasa kecintaannya terhadap ilmu. Menurut Prof Hamidullah, Piagam Madinah adalah Konstitusi Negara tertulis pertama di dunia. (Lihat, Muhammad Hamidullah, The Prophet’s Establishing a State and His Succession, Piakistan Hijra Council, 1988). Di Madinah, Rasul Saw juga menggalakkan tradisi baca tulis. Bahkan beliau membebaskan tawanan Badar yang mengajar kaum Muslim membaca dan menulis. Rasulullah Saw juga memerintahkan penulis wahyu, Zaid bin Tsabit, untuk belajar bahasa Ibrani. Maka, tidak heran, kader-kader Rasulullah Saw adalah orang-orang yang sangat tinggi semangat keilmuannya.
            Sebelum Toffler, Hujjatul Islam Imam Al Ghazali telah menyatakan bahwa الدين بالملك يبقي و الملك بالدين يقوى ‘agama yang ditopang dengan kekuasaan adalah lestari, dan sebaliknya kekuasaan yang ditopang dengan agama akan selalu kuat’. Bahkan Ulama yang lain menyatakan الدين و السلطان توأمان ’agama dan kekuasaan ibarat kembar’, agama sebagai asas sementara kekuasaan sebagai penjaganya. Segala sesuatu yang tidak memiliki asas, maka ia akan binasa. Dan segala sesuatu yang tidak dijaga, dirawat, maka ia juga akan musnah (hilang). Agama mengajarkan prinsip-prinsip hidup dan mengajarkan budipekerti yang luhur. Adapun kekuasaan atau pemerintah sebagai penjaganya dalam mewujudkan prinsip-prinsip tersebut dapat lestari sepanjang masa di dalam kehidupan nyata dalam bentuk sebuah tatanan masyarakat, negara atau imperium.
 
Kesimpulan               
            Dari uraian singkat di atas dapat disimpulkan bahwa Islam adalah peradaban yang membentuk satu Imperium kuat yang dibangun dengan kekuatan pemikiran (ilmu) yang berlandaskan kepada wahyu sebagai sumbernya. Sebuah Imperium yang diperkuat dengan kekuatan akal dan wahyu. Ini juga menunjukkan bahwa letak kekuatan pengaruh Islam ada pada akal dan wahyu. Sebab itu, salahlah jika Islam dikatakan berkembang dan berpengaruh dengan sabetan pedang atau dengan lumuran darah. Ia adalah Imperium Ilmu. Adalah Imperium bak sebuah pohon yang akarnya kokoh di dalam bumi dan dahan-dahannya menjulang tinggi dan gagah di atas langit. Siapa pun yang berteduh dan bernaung di bawahnya, maka Ia akan merasakan keteduhannya, bahkan buahnya (rahmatan lil alamin), sebagaimana yang terjadi pada bangsa Mongol dan bangsa-bangsa lain yang berada di bawah kekuasaan Islam.
            Demikianlah uraian singkat kajian sejarah peradaban Islam yang dapat penulis sajikan kepada para pembaca, kritik dan saran penulis harapkan. Mudah-mudahan dapat memberikan manfaat bagi kita semua, khususnya bagi yang mengidamkan serta merindukan Peradaban Islam untuk senantiasa selalu membangun spirit di dalam dada dan mencita-citakan di dalam mimpi akan kehadiran Peradaban Islam di tengah-tengah kita dengan kembali mengkaji serta menekuni kekayaan khazanah Islam. Amin, Wallahu A’lamu bis Shawab